Kantor Berita Internasional Ahlulbait – ABNA – Hujjatul Islam Sayid Jawad Naqawi, ketua Gerakan Kebangkitan Umat Mustafa di Pakistan menekankan dalam sebuah tulisan: Apakah jika sebuah negara Sunni secara terbuka memberikan dukungan militer kepada Palestina, dukungan itu dianggap "halal", tapi jika hal yang sama dilakukan oleh Iran, tiba-tiba menjadi "agenda sektarian"?
Teks lengkap tulisan tersebut sebagai berikut:
Kejahatan dan genosida di Gaza telah mengguncang hati nurani umat manusia yang sadar di seluruh dunia, namun sangat mengherankan bahwa di negara seperti Pakistan, khususnya di kalangan religius, justru terdapat keheningan yang aneh dan berat. Keheningan ini bukan hanya bersifat sementara, tetapi mencerminkan kemandekan intelektual dan perpecahan wacana yang alih-alih membangkitkan hati nurani kolektif umat Islam, justru menjeratnya dalam fanatisme sektarian dan geografis.
Kezaliman yang menimpa rakyat Palestina bukanlah sesuatu yang terbatas pada satu peristiwa atau momen tertentu. Selama berbulan-bulan, jasad para syuhada, rumah sakit yang hancur, anak-anak yatim, ayah dan ibu yang terluka, serta lingkungan yang hangus telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Gaza.
Maka pertanyaannya adalah: Mengapa sekarang tiba-tiba perasaan terluka itu muncul dan fatwa-fatwa dikeluarkan? Jika perasaan ini benar-benar tulus dan untuk rakyat Palestina, mengapa tidak tampak ketika Hizbullah, Hamas, dan Iran berdiri melawan agresi Israel?
Pada waktu itu, banyak kalangan religius memilih diam. Alasan mereka: "Itu urusannya Iran" atau "Ini bagian dari politik berorientasi Syiah". Pandangan semacam ini membatasi perlawanan Palestina dalam bingkai sektarian dan telah mengorbankan salah satu isu paling penting dan suci umat Islam karena narasi-narasi pemecah belah.
Kebisuan ini bukan suatu kebetulan; ia adalah hasil dari propaganda yang terencana dengan tujuan untuk melanggengkan perpecahan sektarian di tengah umat. Ketika sebuah gerakan perlawanan dianggap mencurigakan hanya karena didukung oleh negara atau mazhab tertentu, sebenarnya itu berarti memperkuat narasi pihak penindas.
Apakah jika sebuah negara Sunni secara terbuka memberikan dukungan militer kepada Palestina, maka dukungan itu dianggap “halal”, tetapi jika hal yang sama dilakukan oleh Iran, tiba-tiba menjadi “agenda sektarian”? Apakah kita hanya boleh menentang kezaliman ketika sikap itu sesuai dengan identitas sektarian kita?
Pemikiran seperti ini sangat berbahaya. Ia bukan hanya membatasi dukungan terhadap rakyat Palestina, tetapi juga mengarahkan umat dari prinsip kepada identitas sektarian. Jika benar-benar isu Palestina adalah isu umat, maka dukungan terhadapnya harus meliputi siapa pun, negara mana pun, atau kelompok mana pun yang dengan tulus berdiri di sisi kaum tertindas, tanpa memandang latar belakang politik atau agama mereka.
Faktanya, Iran—dengan segala latar belakang politik dan keagamaannya—telah menjadi salah satu pendukung paling setia dan tulus terhadap perlawanan bersenjata Palestina. Jika kita menolak dukungannya hanya karena negara itu Syiah, itu bertentangan dengan keadilan dan logika. Pandangan seperti ini bukan hanya merugikan rakyat Palestina, tetapi juga merusak persatuan dunia Islam.
Mendukung perlawanan Palestina adalah tugas prinsipil yang tidak seharusnya bergantung pada siapa yang berdiri di barisan depan. Ketika Iran atau sekutu-sekutunya seperti Hizbullah atau Hamas turun ke medan perlawanan, maka standar dukungan atau penolakan kita tidak seharusnya berbasis pada mazhab, tetapi pada pertanyaan apakah mereka berdiri di sisi kaum tertindas atau tidak.
Pembelahan sektarian tidak hanya merugikan Palestina, tetapi juga menghancurkan persatuan umat. Jika kita menerima atau menolak perlawanan hanya berdasarkan siapa yang mengusungnya, maka kita tengah menapaki jalan keadilan yang selektif. Ini artinya kita menilai prinsip, keadilan, dan dukungan terhadap kaum tertindas berdasarkan individu, negara, atau mazhab.
Tiba-tiba suara protes bergema hanya saat gambar-gambar memilukan menyebar di media sosial atau ketika media-media Arab terpaksa menyiarkan fakta-fakta. Tapi ketika perlawanan sedang berlangsung di medan tempur, ketika darah mengalir, dan ketika musuh menerima balasan, kita justru diam atau menyebutnya sebagai “agenda Iran” lalu menolaknya.
Ini juga merupakan bentuk perbudakan intelektual. Perangkap mental yang menjerat umat hingga dalam peperangannya sendiri, mereka bersikap netral, bahkan kadang menentang.
Kini, lebih dari kapan pun, penting bagi umat Islam untuk tidak melihat isu Palestina hanya dari kacamata mazhab atau geografi. Palestina adalah isu kemanusiaan, moral, dan prinsipil. Siapa pun, dari mazhab atau bangsa mana pun, jika dengan tulus berdiri di sisi yang tertindas, maka ia layak mendapat dukungan.
Sebagaimana Islam tidak terbatas pada ras, suku, atau bahasa tertentu, dukungan terhadap kaum tertindas juga tidak boleh dibatasi oleh garis-garis sektarian. Jika kita menolak posisi suatu negara atau kelompok hanya karena identitas keagamaannya, maka kita telah terjerumus dalam fanatisme yang justru dilarang oleh Islam sendiri.
Bendera Palestina tidak seharusnya hanya menjadi alasan untuk emosi sesaat atau protes sesekali, tetapi harus menjadi simbol sikap prinsipil, kemerdekaan berpikir, dan persatuan umat. Bendera ini tidak boleh dikaitkan dengan agenda, wakil, atau mazhab tertentu, tetapi harus dilihat sebagai lambang perlawanan terhadap kezaliman dan kemenangan kebenaran.
Selama umat belum memahami prinsip dasar ini, maka mereka tidak akan mampu berlaku adil terhadap Palestina—dan juga terhadap diri mereka sendiri.
Your Comment